Sabtu, 14 Januari 2012

Maulana Hasanuddin

Pada tahum 1478, dari pernikahan putri Surasowan, Nyi Kawunganten dengan Syeh Syarif Hidayatullah melahirkan seorang putra yang diberi nama Hasanudin, sedangkan oleh Surasowan diberi gelar Pangeran Sebakingkin.
Surasowan wafat dalam usia yang rerlatif muda. Tampuk pemerintahan Banten diwariskan kepada puteranya, yakni Arya Surajaya. Pada masa pemerintahan Arya Surajaya, Syarif Hidayattulah sudah kembali ke Cirebon. Iapun diangkat menjadi Susuhunan Jati. Sedangkan Hasanudin lebih memilih menjadi guru agama Islam di Banten. Ia pun dikenal memiliki banyak santri dibeberapa wilayah Banten. Karena ketokohannya kemudian masyarakat menyebutnya Syekh Hasanudin.
Memburuknya hubungan Arya Surajaya dengan Hasanudin kurang dipahami tentang musabab yang sebenarnya. Apakah terkait dengan upaya Cirebon – Demak merebut daerah Banten yang masih dibawah kerajaan Pajajaran, konon pelabuhan-pelabuhan yang ada di wilayah Pajajaran memiliki posisi strategi untuk lalu lintas perdagangan, atau terkait dengan masalah pengembangan agama islam ?.
Dari versi sejarah lainnya yang menyebutkan bahwa pernikahan Syarif Hidayatullah dengan Kawunganten dilakukan pada masa Arya Surajaya, putra sulung Surasowan. Arya Surajaya dianggap telah masuk islam, mengikuti ajakan Sunan Ampel ketika singgah di Banten. Masalah ini tentu sangat membingungkan ketika dikaitkan dengan alasan merebut Banten dari Aryasurajaya, untuk penyebaran kepentingan agama Islam, mengingat Aryasurajaya sudah beragama islam. Hal yang sama terjadi ketika direbutnya Pelabuhan Kalapa dari Pajajaran, mengingat di Kalapa telah banyak pemukim islam yang menjadi korban dari peristiwa penyerangan Fadilah Khan.
Kisah perseturan Pajajaran dengan Cirebon dan Demak pernah terjadi dimasa lalu. Hanya saja penghormatan penguasa Cirebon terhadap Sri Baduga masih tinggi, karena masih terhitung kakeknya. Sedangkan sang kakek masih menjaga nama baik agar tidak dituduh menghancurkan kekuasaan cucunya di Cirebon. Sekalipun masalah ini terus berlanjut ketika Pajajaran dipimpin Surawisesa.
Mungkin alasan ini dapat pula dikaitkan ketika Demak merangkul Portugis untuk membuka kantor perdagangannya. Karena situasi politik sudah berubah, Portugis tidak dimusuhi lagi oleh Demak. Portugis diijinkan membuka kantor dagang di Banten, serta menempatkan armada lautnya disana. Dalam rangka membantu Demak, Bupati Hasanudin mengikut sertakan armada Portugis yang dipimpin oleh Tome Pinto (salah seorang penanda tangan perjanjian Pajajaran-Portugis 21 Agustus 1522 Masehi di Pakuan).
Sekalipun Panembahan Jati berada di Cirebon, namun Syeh Hasanudin sering berkunjung ke Cirebon, menemui ayahnya yang sudah menjadi penguasa. Antara ayah dan anak, seringkali saling tukar informasi karena keduanya dari wilayah kerajaan yang berbeda. Hingga pada suatu saat Syeh Hasanudin menerima informasi dari kurir ayahnya, bahwa pasukan gabungan Cirebon-Demak yang dipimpin oleh Panglima Fadilah Khan sedang berlayar, ditugaskan untuk merebut Banten Pasisir.
Disini peran Hasanudin mulai nampak, ia serentak melakukan kekacauan didalam wilayah Banten, sebelum tiba armada laut Cirebon-Demak. Dengan demikian, gerakan Hasanudin sangat memudahkan serangan Cirebon – Demak ke Banten Hilir.
Arya Surajaya dan pasukannya berupaya menumpas pasukan Hasanudin, yang konon waktu itu tidak beridentitas. Sehingga serangan mendadak pasukan gabungan Cirebon-Demak yang dipimpin Fadillah Khan dapat mudah menaklukan Banten. Sedangkan Surajaya beserta keluarga dan sebagian pembesar yang masih hidup melarikan diri masuk kedalam hutan lebat, untuk mengungsi menuju Pakuan Pajajaran.
Pada tahun 1526 M Banten Pasisir berhasil direbut oleh Panglima Fadillah Khan dan pasukannya, Hasanudin diangkat menjadi Bupati Banten Pasisir, pada usia 48 tahun. Konon ketika terjadi huru hara, Hasanudin dibantu oleh beberapa pasukannya dari Banten Girang. Kelak dikemudian hari Banten Girang menggabungkan diri dengan wilayah Banten Pesisir, sehingga praktis Hasanudin menjadi penguasa Banten Pasisir dan Banten Girang. Hampir semua penduduk Banten beralih agama menganut Islam. Ia bernama nobat Panembahan Hasanudin.
Untuk memperkuat posisi pemerintahannya, Hasanudin membangun wilayah tersebut sebagai pusat pemerintahan dan administratif. Ia pun mendirikan istana yang megah yang didberi nama Keraton Surasowan, mengambil nama kakeknya (Surasowan) yang sangat menyayanginya. Nama Keraton tersebut akhirnya berkembang menjadi nama kerajaan. Berita ini diabadikan didalam prasasti tembaga berhuruf Arab yang dibuat oleh Sultan Abdul Nazar (1671-1687), nama resmi kerajaan Islam di Banten adalah Negeri Surasowan.
Pada tahun 1568 M Susuhunan Jati Wafat, kemudian Penembahan Hasanudin memproklamirkan Surasowan sebagai Negara yang merdeka, lepas dan kekuasaan Cirebon. Panembahan Hasanudin menikah dengan puteri Indrapura, kemudian memperoleh putera, bernama Maulana Yusuf. Kelak Maulana Yusuf menggantikan posisinya sebagai penguasa Banten.
Selain Maulana Yusuf, Panembahan Hasanudin dari istrinya yang kedua, yakni Ratu Ayu Kirana (puteri sulung Raden Patah Sultan Demak) yang juga sering disebut Ratu Mas Purnamasidi, Panembahan Hasanudin memperoleh putera, diantaranya Ratu Winahon, kelak menjadi isteri Tubagus Angke Bupati Jayakarta (Jakarta), dan Pangeran Arya, yang diangkat anak oleh bibinya, Ratu Kalinyamat, kemudian ia dikenal sebagai Pangeran Jepara.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar